Feeds:
Posts
Comments

Archive for the ‘tanya Ustad’ Category

Hukum Gadai Syariah


Soal :

Ustadz, apa hukumnya gadai syariah, baik yang ada di pegadaian syariah maupun di berbagai bank syariah sekarang?

Pegadaian Ribawi Jawab :

Gadai syariah merupakan produk jasa gadai (rahn) yang diklaim dilaksanakan sesuai syariah, sebagai koreksi terhadap gadai konvensional yang haram karena memungut bunga (riba).  Gadai syariah berkembang pasca keluarnya Fatwa DSN MUI No 25/DSN-MUI/III/2002 tentang rahn, Fatwa DSN MUI No 26/DSN-MUI/III/2002 tentang rahn emas, dan Fatwa DSN MUI No 68/DSN-MUI/III/2008 tentang rahn tasjily. Sejak itu marak berbagai jasa gadai syariah, baik di Pegadaian Syariah maupun di berbagai bank syariah.

Gadai syariah tidak menghapus bunga, melainkan mengganti bunga itu dengan biaya simpan atas dasar akad ijarah (jasa). Jadi dalam gadai syariah ada dua akad : Pertama, akad rahn, yaitu akad utang (qardh) oleh rahin (nasabah) kepada murtahin (bank/pegadaian syariah) dengan menggadaikan suatu harta tertentu sebagai jaminan utang. Kedua, akad ijarah, yaitu akad jasa di mana murtahin menyewakan tempat dan memberikan jasa penyimpanan kepada rahin.

Di Pegadaian Syariah, biasanya platfon utang yang diberikan maksimal 90 persen dari nilai taksiran, dengan jangka waktu utang maksimal 4 bulan. Besarnya biaya simpan Rp 90 untuk setiap kelipatan Rp 10.000 dari nilai taksiran per sepuluh hari. Ini sama dengan 0,9 persen per 10 hari = 2,7 persen per 30 hari = 10,8 persen per 120 hari (4 bulan).

Misal: Jono menggadaikan laptop kepada Pegadaian Syariah, dengan nilai taksiran Rp 1 juta. Plafon utang maksimal sebesar 90 persen (Rp 900.000). Biaya simpan Rp 90 untuk setiap kelipatan Rp 10.000 dari nilai taksiran per 10 hari, sama dengan 10,8 persen dari nilai taksiran untuk 120 hari. Jika jangka waktu utang 4 bulan (120 hari), maka biaya simpannya sebesar =10,8 persen x Rp 1.000.000 = Rp 108.000. Jadi, pada saat jatuh tempo jumlah uang yang harus dibayar Jono sebesar Rp 900.000 + Rp 108.000 = Rp 1.008.000. (Yahya Abdurrahman, Pegadaian Dalam Pandangan Islam, hlm. 130-131).

Menurut kami, gadai syariah ini adalah akad yang batil (tidak sah) dan haram hukumnya, dengan tiga alasan sebagai berikut :  Pertama, terjadi penggabungan dua akad menjadi satu akad (multi akad) yang dilarang syariah, yaitu akad gadai (atau akad qardh) dan akadijarah (biaya simpan). Diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud RA, bahwasanya Nabi SAW telah melarang dua kesepakatan dalam satu kesepakatan. (HR Ahmad, hadis sahih). Menurut Imam Taqiyuddin Nabhani, yang dimaksud “dua kesepakatan dalam satu kesepakatan” adalah adanya dua akad dalam satu akad, misalnya menggabungkan dua akad jual beli menjadi satu akad, atau menggabungkan akad jual-beli dengan akad ijarah. (Al Syakhshiyah Al Islamiyah, 2/308).

Kedua, terjadi riba walaupun disebut dengan istilah “biaya simpan” atas barang gadai dalam akad qardh (utang) antara Pegadaian Syariah dengan nasabah. Padahal qardhyang menarik manfaat, baik berupa hadiah barang, uang, atau manfaat lainnya, adalah riba yang hukumnya haram. Sabda Rasulullah SAW,”Jika seseorang memberi pinjaman (qardh), janganlah dia mengambil hadiah.” (HR Bukhari, dalam kitabnya At Tarikh Al Kabir). (Taqiyuddin Nabhani, Al Syakhshiyah Al Islamiyah, 2/341).

Ketiga, terjadi kekeliruan pembebanan biaya simpan. Dalam kasus ini, dikarenakan pihak murtahin (pegadaian syariah) yang berkepentingan terhadap barang gadai sebagai jaminan atas utang yang diberikannya, maka seharusnya biaya simpan menjadi kewajiban murtahin, bukan kewajiban rahin (nasabah). (Imam Syaukani, As Sailul Jarar,hlm. 275-276; Wablul Ghamam ‘Ala Syifa` Al Awam, 2/178; Imam Shan’ani, Subulus Salam, 3/51). Sabda Rasulullah SAW, “Jika hewan tunggangan digadaikan, makamurtahin harus menanggung makanannya, dan [jika] susu hewan itu diminum, maka atas yang meminum harus menanggung biayanya.” (HR Ahmad, Al Musnad, 2/472). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hadis no 2301, hlm. 1090).

Berdasarkan tiga alasan di atas, gadai syariah yang ada sekarang baik di Pegadaian Syariah maupun di berbagai bank syariah, menurut kami hukumnya haram dan tidak sah.Wallahu ‘alam. (Ustadz Shiddiq  al Jawi)

sumber: http://hizbut-tahrir.or.id/2012/05/03/hukum-gadai-syariah/


Read Full Post »


the Caliph deposed

1. hari ini, 3 maret 2012, 88 tahun sejak khilafah dihapuskan pada 3 maret 1924
2. bukan mengenang, namun mengambil makna agar memahami apa obat untuk kehancuran Khilafah Islam yg pernah menaungi seluruh Muslim

3. meniti sejarah memahami kesalahan masa lalu untuk jadi peringatan bagi jalan yang dibangun di masa depan ketika menyambut kembalinya Khilafah

4. benar ucapan Ibnu Khaldun, bahwa peradaban itu seperti pendulum, awalnya tak terorganisir, lalu menjadi rapi, dan kembali lagi rapuh

5. begitu pula Islam, setelah menikmati zaman keemasan (Islamic Golden Age) pada kurun 750-1500, dari sana perlahan mengalami degradasi

6. Khilafah Abbasiyah menimati puncak keemasan sains dan teknologi, sementara Khilafah Utsmaniyah tandai keemasannya dengan wilayah terluas

7. masa Sultan Fatih Mehmed II dan Khalifah Suleyman Qanuni, Islam sudah sangat kuat, sayangnya tak digunakan utk perbaiki pemahaman Islam

8. maka pada masa Khalifah Suleyman, Islam mencapai puncak kejayaan dan luasan, Islam memiliki hegemoni di daratan maupun lautan

9. terlena oleh harapan kemenangan dan kemewahan hidup, pd 1683 pasukan Islam tertahan dan kalah menyakitkan di gerbang Wina

10. itulah terakhir kalinya kaum Muslim lakukan jihad, tanpa disadari, ini adl satu faktor yg sebabkan lemahnya Islam dan bangkitnya barat

11. tak diragukan lagi, kejadian Wina 1683 jadi titik tolak mundurnya Islam

12. saat jihad ditinggalkan, barat mulai ekspansi muliter dengan 3G (gold-gospel-glory), lalu menjajah negeri muslim

13. penyebab kedua runtuhnya Khilafah Islam adl karena ditinggalkannya bahasa arab sebagai bahasa Islam, sehingga lemahlah pemahaman Islam

14. sebagaimana jamak diketahui, Khilafah Islam berasal dari sultan2 Mamalik, tentara2 ajam yang akhirnya jadi pemimpin kaum Muslim

15. masalah mulai muncul saat kaum Mamalik ini tak menjadikan bahasa arab sebagai bahasa ibu kecuali pada sultan2 yg sedikit

16. terjadilah pemisahan “potensi Islam” dan “potensi bahasa arab” yang merupakan pokok dari pengetahuan dan ilmu dalam Islam

17. rendahnya pemahaman Islam akibat ditinggalkannya bahasa arab dapat terlihat ketika Al-Qaffal menutup pintu ijtihad, sehingga ummat resah

18. permasalah mulai muncul ditengah ummat tanpa ada solusi, “apakah TV halal atau haram?”, “bisakah Al-Qur’an dicetak?” dan semisal

19. lengkap kemunduran berpikir kaum Muslim tatkala diserang oleh filsafat persia dan yunani yang menyusup dalam pikir kaum Muslim

20. filsafat persia sangat nyata pada pemikiran tasawuf pd masa itu, penyucian diri dgn cara menyiksa fisik sebagai ganti ketinggian ruh

21. filsafat yunani pun sebenarnya menyerang pemahaman tentang taqdir, qadha-qadar, sampai melahirkan fitnag khalqul qur’an gaya mu’tazilah

22. saat kondisi pemahaman ummat melemah dan ketakwaan mereka pada Allah mulai memudar, serangan2 barat diintensifkan

23. akhir abad ke-16, para misionaris mulai mengacaukan pemahaman ummat, dumulai di malta, tugas mereka membuat ragu ummat akan ajaran Islam

24. prancis dan inggris, dan amerika urun Rembuk pula pada abad 18-19, menabur benih kehancuran dengan menanam paham nasionalisme

25. paham nasionalisme disebarkan sampai kaum Muslim mengelompokkan diri sbg arab, turki atau mesir, dari menganggap mereka satu Muslim

26. salah satu kota besar tempat dakwah nasionalisme ini adalah di beirut, American University of Beirut misalnya dibentuk pd 1866

27. sebab selanjutnya keruntuhan Khilafah ini terkait dengan serangan fisik, perang dan imperialisme serta melalui perjanjian2

28. perjanjian karlowitz 1699, passarowitz 1718, Belgrade 1739, Kucuk Kaynarca 1774, semuanya mengerat habis wilayah Khilafah Utsmani

29. russia mengerat wilayah Khilafah di utara sampai berbatasan dengan laut hitam di masa Catherine

30. sementara prancis menjajah mesir pd 1698, Aljazair pd 1830, tunisia pd 1881, Moroko pd 1912

31. inggris mengambil wilayah india, cina barat, sudan, dan akhirnya merebut mesir dari prancis, kaum Muslim seperti hidangan yg direbutkan

32. ditengah-tengah kekacauan ini, internal Muslim goyah karena seringnya pemberontakan yg dilakukan oleh tim inti yeniseri

33. pembubaran tim yeniseri oleh Khalifah Mahmud II pd 1826 menambah daftar panjang penyebab lemahnya Islam dan lemahnya pasukannya

34. saat tim yeniseri bubar, maka pengaruh barat yang deras masuk memaksa kaum Muslim mengadakan pembaruan militer dan hukum

35. reformasi inilah yg dinamakan ‘tanzimat’ sebuah reformasi yg agaknya lebih cenderung ke sekuleriasi Khilafah Islam

36. pasca tanzimat ini, Khilafah mulai mengadopsi sistem keuangan, hukum sipil dan hukum pidana Prancis

37. reformasi militer berdasarkan sistem militer prancis dan swedia, sehingga militer kaum Muslim mulai dikuasai secara tak langsung

38. hapus jizyah, dirikan pasar saham, non-muslim diizinkan jadi tentara reguler, bisa dirikan universitas2 barat, dan dirikan parlemen

39. selain itu juga dibuat hemayun script, lalu terapkan sistem parlementer, membagi dua pengadilan, dan mengekor hukum positif barat

40. bersamaan dengan itu, benih2 nasionalisme mulai tumbuh di dunia Islam, fatatul turk (pemuda turki), fatatul arab (pemuda arab) buktinya

41. kaum pemuda berlandaskan nasionalisme ini mulai menyerukan disintegrasi Islam berdasar etnis, semisal gerakan ittihad wa taraqiy turki

42. dan gerakan2 ini dapat sambutan dan dukungan hangat dari loji2 freemasin di yunani, dan mendanai mereka, izinkan rapat di pembangkit mereka

43. masya Allah, begitulah kaum Muslim dikerat dengan pisau nasionalisme, ukhuwah dinomordiakan warna kulit dan bentuk wajah

44. tokoh2 antek barat laksana jamaluddin al-afghani pun diorbitkan untuk menolak Khilafah dan munculkan Pan Arabisme (persatuan etnis arab)

45. khusus jamaludiin ini, Khalifah Abdul Hamid II dlm catatan hariannya menyebutnya “pelawak” dan orang yang sangat berbahaya

46. dan pukulan pamungkas dari barat datang ketika PD1 1914-1917, kaum Muslim terjebak perang melawan sekutu dan kalah total

47. maka lewat perjanjian sykes-PICOT (inggris-prancis) wilayah Islam secara formal dikerat penjajah, dipecah belah

48. antek inggris lawrence of arabia menginisiasi pemberontakan negeri2 arab di syam pada 1916-1918, muncullah negeri2 baru

49. termasuk ibnu saud yg didukung melakukan pemberontakan, dan raja faisal yg memimpin “revolusi arab” juga disupport inggris

50. maka inggris menggarisbawahi wilayah2 kaum Muslim, dan memotong mereka menjadi satuan2 yg lemah

51. lewat inggris pula mustafa kemal berhasil mengganti Khilafah Utsmani menjadi Republik Turki, dan Khilafah resmi dihapus pd 3 Maret 1924

demikian pembahasan runtuhnya khilafah, insya Allah besk kita lanjutkan ke “apa yang harus kita lakukan sekarang?”

diambil dari twitter @ felixsiauw, follow untuk selanjutnya ..
sumber: http://maf1453.com/felix/2012/03/04/bagaimana-khilafah-diruntuhkan/ # more-834

Read Full Post »


Tanya :

Ustadz, bolehkah kita menunda shalat dengan alasan olahraga?

Dani, Jakarta

Jawab :

Menunda shalat (ta`khir as shalah) hukumnya boleh (ja`iz) jika tak sampai keluar dari waktu shalat. Sebab kewajiban shalat dalam istilah fiqih disebut kewajiban muwassa’, yakni kewajiban yang waktu pelaksanaannya dapat dipilih pada waktu mana pun yang tersedia, baik di awal, tengah, maupun akhir waktu. (Ahkamus Shalah, Ali Raghib, hlm. 18).

Namun yang lebih baik mengerjakan shalat pada waktu ikhtiyar, yakni waktu yang disunnahkan, misalnya mengerjakan shalat Isya dari awal waktu yaitu tenggelamnya mega merah hingga pertengahan malam (nishf al lail). Waktu shalat sesudah habisnya waktu ikhtiyar disebut waktu jawaz/dharurat/karahah, yakni waktu shalat yang sudah tak disunnahkan lagi, meski masih dibolehkan. (Mahmud Uwaidhah, Al Jami’ li Ahkam As Shalah, II/12).

Atas dasar itu, menunda shalat dengan alasan olahraga hukumnya boleh, selama penundaan shalat itu tak sampai keluar dari waktu shalat.

Namun walaupun sah mengerjakan shalat hingga di akhir waktu, tak sepantasnya hal ini dilakukan oleh seorang Muslim yang taat. Terutama jika ia hanya sempat shalat satu rakaat sebelum waktu shalat habis. Seseorang yang masih sempat shalat satu rakaat sebelum waktu habis, memang dianggap mendapati shalat, berdasarkan sabda Nabi SAW, ”Barangsiapa mendapati satu rakaat dari shalat, berarti dia mendapati shalat.” (HR Bukhari).

Namun demikian walau shalatnya sah, dia berdosa karena terdapat dalil yang mencela shalat seperti ini yang mirip dengan shalatnya orang munafik. Dari Anas bin Malik RA, dia berkata, ”Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, ”Itulah shalatnya orang munafik. Dia duduk menunggu-nunggu matahari, hingga tatkala matahari berada di antara dua tanduk syetan (hampir terbenam), dia cepat-cepat shalat empat rakaat, dia tak mengingat Allah kecuali sedikit.” (HR Muslim). (Mahmud ‘Uwaidhah, Al Jami’ li Ahkam As Shalah, II/18).

Adapun jika penundaan shalat itu sampai keluar dari waktu shalat, hukumnya haram dan merupakan dosa besar. Sebab mengerjakan shalat pada waktunya adalah kewajiban yang harus dipelihara setiap Muslim, sesuai firman Allah SWT (artinya) : “Peliharalah segala shalatmu.” (TQS Al Baqarah [2] : 238). Dari Fudhalah RA, Nabi SAW bersabda, ”Peliharalah shalat yang lima.” (HR Ahmad dan Abu Dawud).

Maka tak dibolehkan menunda shalat hingga keluar dari batas waktunya, kecuali terdapat udzur syar’i, seperti ketidaksengajaan karena lupa atau tertidur, atau karena dalam perjalanan (safar) atau hujan yang membolehkan shalat jama’ ta`khir. (Ahkamus Shalah, Ali Raghib, hlm. 18).

Atas dasar itu, menunda shalat dengan alasan olahraga hukumnya haram dan dosa besar, jika penundaan shalat itu sampai keluar dari waktu shalat tanpa udzur syar’i.

Kami tegaskan pula, aktivitas olahraga apa pun yang menyebabkan penundaan shalat yang demikian itu, hukumnya haram juga, berdasarkan kaidah fiqih: al wasilah ilal al haram muharramah (segala perantaraan yang mengakibatkan keharaman, maka perantaraan itu haram hukumnya). (M. Shidqi Burnu, Mausu’ah Al Qawa’id Al Fiqhiyyah, XII/199; Musa Al Usairi, Ahkam Kurah Al Qadam fi Al Fiqh Al Islami, hlm. 63 & 331; Diyab Al Ghamidi, Haqiqah Kurah Al Qadam, hlm. 44).

Kami tambahkan pula perjalanan (safar) yang membolehkan shalat jama’ ta`khir (jika jaraknya minimal 16 farsakh = 88,7 km), disyaratkan tak disertai kemaksiatan. Jika disertai kemaksiatan, hukum rukhshah (keringanan) berupa jama’ ta`khir tetap tak boleh dilaksanakan, sesuai kaidah fiqih : ar rukhash laa tunaathu bil ma’ashi (hukum rukhshah tak dapat dikaitkan dengan kemaksiatan). (M. Shidqi Burnu, Mausu’ah Al Qawa’id Al Fiqhiyyah, IV/401).

Maka jika olahraga yang dilakukan disertai kemaksiatan, misalnya pemain sepak bola tak menutup aurat antara pusar dan lututnya, dia tetap tak boleh shalat jama’ ta`khir walaupun statusnya musafir. Wallahu a’lam.[oleh: Ust M Shiddiq Al Jawi]
sumber : http://www.mediaumat.com/ustadz-menjawab/3550-70-menunda-shalat-dengan-alasan-olahraga-bolehkah.html

Read Full Post »


Tanya :

Ustadz, bagaimana hukumnya menjadi TKW di luar negeri?

Jawab :

TKW (Tenaga Kerja Wanita) adalah TKI (Tenaga Kerja Indonesia) perempuan warga negara Indonesia yang bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah. TKW sering disebut pahlawan devisa karena dalam setahun dapat menghasilkan devisa 60 triliun rupiah (data 2006).

Namun, berbagai masalah sering menimpa TKW baik di dalam maupun di luar negeri. Misal : pelecehan seksual, perkosaan, penganiayaan fisik (kekerasan), pembunuhan, pemotongan upah, dan pungutan liar oleh pejabat dan agen terkait.

Bahkan sepanjang tahun 2009-2010 saja, disebut-sebut hampir sekitar 4000 TKW menjadi korban penipuan, pemerasan, pelecehan seksual, kekerasan, hingga pembunuhan.

Menjadi TKW yang bekerja di luar negeri hukumnya haram, berdasarkan 2 (dua) alasan utama : Pertama, karena TKW telah bekerja di luar negeri tanpa disertai mahram atau suaminya. Padahal syara’ telah mengharamkan seorang perempuan muslimah melakukan perjalanan (safar) sehari semalam tanpa disertai mahram atau suami, meski untuk menunaikan ibadah haji yang wajib. (Imad Hasan Abul ‘Ainain; ‘Amal Al-Mar`ah fi Mizan Al-Syari’ah Al-Islamiyah, hal.42; M. Ali al-Bar, Amal Al-Mar`ah fi Al-Mizan, hal. 29; Riyadh Muhammad Al-Musaimiri; ‘Amal Al-Mar`ah Bayna Al-Masyru’ wa Al-Mamnu’, hal. 22; Taqiyuddin an-Nabhani, An-Nizham al-Ijtima’i fi Al-Islam, hal. 35).

Dalam masalah ini Imam Ibnu Qudamah menyatakan siapa saja perempuan yang tidak punya mahram dalam perjalanan haji, tidak wajib naik haji. (Al-Mughni, 5/30). Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW,”Tidak halal perempuan yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir melakukan perjalanan selama sehari semalam kecuali disertai mahramnya.” (HR Bukhari no 1088; Muslim no 1339; Abu Dawud no 1723; Tirmidzi no 1170; Ibnu Majah no 2899; Ahmad no 7366).

Berdasarkan hadits ini, haram hukumnya menjadi TKW di luar negeri. Karena umumnya TKW tidak disertai mahram atau suaminya dalam perjalanannya ke luar negeri. TKW itu pun tetap dianggap musafir yang wajib disertai mahram atau suaminya, selama dia tinggal di luar negeri hingga dia kembali ke negeri asalnya (Indonesia). (Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Al-Shalah, 2/337).

Kedua,menjadi TKW juga haram ditinjau dari segi lain, yaitu keberadaan TKW telah menjadi perantaraan munculnya berbagai hal yang diharamkan syara’. Misalnya, terjadinya pelecehan seksual, perkosaan, kekerasan, pembunuhan, pemotongan upah, dan pungutan liar. Semua ini telah diharamkan oleh syara’ berdasarkan dalilnya masing-masing. Maka, menjadi TKW hukumnya haram berdasarkan kaidah fiqih Al-Wasilah ila al-Haram Muharramah (segala perantaraan yang mengakibatkan terjadinya keharaman, hukumnya haram). (M. Shidqi Burnu, Mausu’ah Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, 12/199).

Atas dasar dua alasan ini, haram hukumnya menjadi TKW yang bekerja di luar negeri. Pengiriman TKW ke luar negeri pun wajib dihentikan, sesuai kaidah fiqih Al-Dharar yuzaal (segala macam bahaya wajib dihilangkan). (Imam Suyuthi, Al-Asybah wa Al-Nazha`ir, hal. 83; M. Bakar Ismail, Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah Bayna Al-Ashalah wa Al-Taujih, hal. 99). Wallahu a’lam.

Yogyakarta, 25 Nopember 2010

Muhammad Shiddiq Al-Jawi

sumber: http://www.khilafah1924.org/index.php?option=com_content&task=view&id=793&Itemid=33

Read Full Post »


Oleh : M. Shiddiq Al Jawi

Pengertian Qurban

Kata kurban atau korban, berasal dari bahasa Arab qurban, diambil dari kata : qaruba (fi’il madhi) – yaqrabu (fi’il mudhari’) – qurban wa qurbânan (mashdar).Artinya, mendekati atau menghampiri (Matdawam, 1984).

Menurut istilah, qurban adalah segala sesuatu yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah baik berupa hewan sembelihan maupun yang lainnya (Ibrahim Anis et.al, 1972). Dalam bahasa Arab, hewan kurban disebut juga dengan istilah udh-hiyah atau adh-dhahiyah, dengan bentuk jamaknya al-adhâhi. Kata ini diambil dari kata dhuhâ, yaitu waktu matahari mulai tegak yang disyariatkan untuk melakukan penyembelihan kurban, yakni kira-kira pukul 07.00 – 10.00 (Ash Shan’ani, Subulus Salam IV/89).

Udh-hiyah adalah hewan kurban (unta, sapi, dan kambing) yang disembelih pada hari raya Qurban dan hari-hari tasyriq sebagai taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah (Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah XIII/155; Al Jabari, 1994).

Hukum Qurban

Qurban hukumnya sunnah, tidak wajib. Imam Malik, Asy Syafi’i, Abu Yusuf, Ishak bin Rahawaih, Ibnul Mundzir, Ibnu Hazm dan lainnya berkata,”Qurban itu hukumnya sunnah bagi orang yang mampu (kaya), bukan wajib, baik orang itu berada di kampung halamannya (muqim), dalam perjalanan (musafir), maupun dalam mengerjakan haji.” (Matdawam, 1984)

Sebagian mujtahidin -seperti Abu Hanifah, Al Laits, Al Auza’i, dan sebagian pengikut Imam Malik- mengatakan qurban hukumnya wajib. Tapi pendapat ini dhaif (lemah) (Matdawam, 1984).

Ukuran “mampu” berqurban, hakikatnya sama dengan ukuran kemampuan shadaqah, yaitu mempunyai kelebihan harta (uang) setelah terpenuhinya kebutuhan pokok (al hajat al asasiyah) -yaitu sandang, pangan, dan papan– dan kebutuhan penyempurna (al hajat al kamaliyah) yang lazim bagi seseorang. Jika seseorang masih membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, maka dia terbebas dari menjalankan sunnah qurban (Al Jabari, 1994) .

Dasar kesunnahan qurban antara lain, firman Allah SWT :

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

“Maka dirikan (kerjakan) shalat karena Tuhanmu, dan berqurbanlah.” (TQS Al Kautsar : 2).

“Aku diperintahkan (diwajibkan) untuk menyembelih qurban, sedang qurban itu bagi kamu adalah sunnah.”(HR.At-Tirmidzi)

“Telah diwajibkan atasku (Nabi SAW) qurban dan ia tidak wajib atas kalian.” (HR. Ad Daruquthni)

Dua hadits di atas merupakan qarinah (indikasi/petunjuk) bahwa qurban adalah sunnah. Firman Allah SWT yang berbunyi “wanhar” (dan berqurbanlah kamu) dalam surat Al Kautas ayat 2 adalah tuntutan untuk melakukan qurban (thalabul fi’li). Sedang hadits At Tirmidzi, “umirtu bi an nahri wa huwa sunnatun lakum” (aku diperintahkan untuk menyembelih qurban, sedang qurban itu bagi kamu adalah sunnah), juga hadits Ad Daruquthni “kutiba ‘alayya an nahru wa laysa biwaajibin ‘alaykum” (telah diwajibkan atasku qurban dan ia tidak wajib atas kalian); merupakan qarinah bahwa thalabul fi’li yang ada tidak bersifat jazim (keharusan), tetapi bersifat ghairu jazim (bukan keharusan). Jadi, qurban itu sunnah, tidak wajib. Namun benar, qurban adalah wajib atas Nabi SAW, dan itu adalah salah satu khususiyat beliau (lihat Rifa’i et.al., Terjemah Khulashah Kifayatul Akhyar, hal. 422).

Orang yang mampu berqurban tapi tidak berqurban, hukumnya makruh. Sabda Nabi SAW:

مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا

Barangsiapa yang mempunyai kemampuan tetapi ia tidak berqurban, maka janganlah sekali-kali ia menghampiri tempat shalat kami.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan Al Hakim, dari Abu Hurairah RA. Menurut Imam Al Hakim, hadits ini shahih. Lihat Subulus Salam IV/91)

Perkataan Nabi “fa laa yaqrabanna musholaanaa” (janganlah sekali-kali ia menghampiri tempat shalat kami) adalah suatu celaan (dzamm), yaitu tidak layaknya seseorang -yang tak berqurban padahal mampu– untuk mendekati tempat sholat Idul Adh-ha. Namun ini bukan celaan yang sangat/berat (dzamm syanii’) seperti halnya predikat fahisyah (keji), atau min ‘amalisy syaithan (termasuk perbuatan syetan), atau miitatan jaahiliyatan (mati jahiliyah) dan sebagainya. Lagi pula meninggalkan sholat Idul Adh-ha tidaklah berdosa, sebab hukumnya sunnah, tidak wajib. Maka, celaan tersebut mengandung hukum makruh, bukan haram (lihat ‘Atha` ibn Khalil, Taysir Al Wushul Ila Al Ushul, hal. 24; Al Jabari, 1994).

Namun hukum qurban dapat menjadi wajib, jika menjadi nadzar seseorang, sebab memenuhi nadzar adalah wajib sesuai hadits Nabi SAW :

مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلَا يَعْصِهِ

“Barangsiapa yang bernadzar untuk ketaatan kepada Allah, maka hendaklah ia melaksanakannya. Barangsiapa yang bernadzar untuk kemaksiatan kepada Allah, maka janganlah ia tidak melaksanakannya.” (HR al-Bukhari, Abu Dawud, al-Tirmidzi).

Qurban juga menjadi wajib, jika seseorang (ketika membeli kambing, misalnya) berkata,”Ini milik Allah,” atau “Ini binatang qurban.” (Sayyid Sabiq, 1987; Al Jabari, 1994).

Keutamaan Qurban

Berqurban merupakan amal yang paling dicintai Allah SWT pada saat Idul Adh-ha. Sabda Nabi SAW

مَا عَمِلَ ابْنُ آدَمَ يَوْمَ النَّحْرِ عَمَلًا أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ هِرَاقَةِ دَمٍ

“Tidak ada suatu amal anak Adam pada hari raya Qurban yang lebih dicintai Allah selain menyembelih qurban.” (HR. At Tirmidzi) (Abdurrahman, 1990)

Berdasarkan hadits itu Imam Ahmad bin Hambal, Abuz Zanad, dan Ibnu Taimiyah berpendapat,”Menyembelih hewan pada hari raya Qurban, aqiqah (setelah mendapat anak), dan hadyu (ketika haji), lebih utama daripada shadaqah yang nilainya sama.” (Al Jabari, 1994).

Tetesan darah hewan qurban akan memintakan ampun bagi setiap dosa orang yang berqurban. Sabda Nabi SAW :

يا فاطمة قومي فاشهدي اضحيتك فانه يغفر لك باول قطرة تقطر من من دمها كل ذنب عملته

“Hai Fathimah, bangunlah dan saksikanlah qurbanmu. Karena setiap tetes darahnya akan memohon ampunan dari setiap dosa yang telah kaulakukan…” (HR al-Baihaqi, lihat Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah XIII/165)

Waktu dan Tempat Qurban

a.Waktu

Qurban dilaksanakan setelah sholat Idul Adh-ha tanggal 10 Zulhijjah, hingga akhir hari Tasyriq (sebelum maghrib), yaitu tanggal 13 Zulhijjah. Qurban tidak sah bila disembelih sebelum sholat Idul Adh-ha. Sabda Nabi SAW:

مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ الصَّلَاةِ فَإِنَّمَا ذَبَحَ لِنَفْسِهِ وَمَنْ ذَبَحَ بَعْدَ الصَّلَاةِ فَقَدْ تَمَّ نُسُكُهُ وَأَصَابَ سُنَّةَ الْمُسْلِمِينَ

“Barangsiapa menyembelih qurban sebelum sholat Idul Adh-ha (10 Zulhijjah) maka sesungguhnya ia menyembelih untuk dirinya sendiri. Dan barangsiapa menyembelih qurban sesudah sholat Idul Adh-ha dan dua khutbahnya, maka sesungguhnya ia telah menyempurnakan ibadahnya (berqurban) dan telah sesuai dengan sunnah (ketentuan) Islam.” (HR. Bukhari)

Sabda Nabi SAW :

كُلُّ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ ذَبْحٌ

“Semua hari tasyriq (tanggal 11, 12, dan 13 Zulhijjah) adalah waktu untuk menyembelih qurban.” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban)

Menyembelih qurban sebaiknya pada siang hari, bukan malam hari pada tanggal-tanggal yang telah ditentukan itu. Menyembelih pada malam hari hukumnya sah, tetapi makruh. Demikianlah pendapat para imam seperti Imam Abu Hanifah, Asy Syafi’i, Ahmad, Abu Tsaur, dan jumhur ulama (Matdawam, 1984).

Perlu dipahami, bahwa penentuan tanggal 10 Zulhijjah adalah berdasarkan ru`yat yang dilakukan oleh Amir (penguasa) Makkah, sesuai hadits Nabi SAW dari sahabat Husain bin Harits Al Jadali RA (HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud hadits no.1991). Jadi, penetapan 10 Zulhijjah tidak menurut hisab yang bersifat lokal (Indonesia saja misalnya), tetapi mengikuti ketentuan dari Makkah. Patokannya, adalah waktu para jamaah haji melakukan wukuf di Padang Arafah (9 Zulhijjah), maka keesokan harinya berarti 10 Zulhijjah bagi kaum muslimin di seluruh dunia.

b.Tempat

Diutamakan, tempat penyembelihan qurban adalah di dekat tempat sholat Idul Adh-ha dimana kita sholat (misalnya lapangan atau masjid), sebab Rasulullah SAW berbuat demikian (HR. Bukhari). Tetapi itu tidak wajib, karena Rasulullah juga mengizinkan penyembelihan di rumah sendiri (HR. Muslim). Sahabat Abdullah bin Umar RA menyembelih qurban di manhar, yaitu pejagalan atau rumah pemotongan hewan (Abdurrahman, 1990).

Hewan Qurban

a.Jenis Hewan

Hewan yang boleh dijadikan qurban adalah : unta, sapi, dan kambing (atau domba). Selain tiga hewan tersebut, misalnya ayam, itik, dan ikan, tidak boleh dijadikan qurban (Sayyid Sabiq, 1987; Al Jabari, 1994). Allah SWT berfirman:

لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ

“…supaya mereka menyebut nama Allah terhadap hewan ternak (bahimatul an’am) yang telah direzekikan Allah kepada mereka.” (TQS Al Hajj : 34)

Dalam bahasa Arab, kata bahimatul an’aam (binatang ternak) hanya mencakup unta, sapi, dan kambing, bukan yang lain (Al Jabari, 1994).

Prof. Mahmud Yunus dalam kitabnya Al Fiqh Al Wadhih III/3 membolehkan berkurban dengan kerbau (jamus), sebab disamakan dengan sapi.

b.Jenis Kelamin

Dalam berqurban boleh menyembelih hewan jantan atau betina, tidak ada perbedaan, sesuai hadits-hadits Nabi SAW yang bersifat umum mencakup kebolehan berqurban dengan jenis jantan dan betina, dan tidak melarang salah satu jenis kelamin (Sayyid Sabiq, 1987; Abdurrahman, 1990)

c.Umur

Sesuai hadits-hadits Nabi SAW, dianggap mencukupi, berqurban dengan kambing/domba berumur satu tahun masuk tahun kedua, sapi (atau kerbau) berumur dua tahun masuk tahun ketiga, dan unta berumur lima tahun (Sayyid Sabiq, 1987; Mahmud Yunus, 1936).

d.Kondisi

Hewan yang dikurbankan haruslah mulus, sehat, dan bagus. Tidak boleh ada cacat atau cedera pada tubuhnya. Sudah dimaklumi, qurban adalah taqarrub kepada Allah. Maka usahakan hewannya berkualitas prima dan top, bukan kualitas sembarangan (Rifa’i et.al, 1978)

Berdasarkan hadits-hadits Nabi SAW, tidak dibenarkan berkurban dengan hewan :

  1. yang nyata-nyata buta sebelah,
  2. yang nyata-nyata menderita penyakit (dalam keadaan sakit),
  3. yang nyata-nyata pincang jalannya,
  4. yang nyata-nyata lemah kakinya serta kurus,
  5. yang tidak ada sebagian tanduknya,
  6. yang tidak ada sebagian kupingnya,
  7. yang terpotong hidungnya,
  8. yang pendek ekornya (karena terpotong/putus),
  9. yang rabun matanya. (Abdurrahman, 1990; Al Jabari, 1994; Sayyid Sabiq. 1987).

Hewan yang dikebiri boleh dijadikan qurban. Sebab Rasulullah pernah berkurban dengan dua ekor kibasy yang gemuk, bertanduk, dan telah dikebiri (al maujuu’ain) (HR. Ahmad dan Tirmidzi) (Abdurrahman, 1990)

Qurban Sendiri dan Patungan

Seekor kambing berlaku untuk satu orang. Tak ada qurban patungan (berserikat) untuk satu ekor kambing. Sedangkan seekor unta atau sapi, boleh patungan untuk tujuh orang (HR. Muslim). Lebih utama, satu orang berqurban satu ekor unta atau sapi.

Jika murid-murid sebuah sekolah, atau para anggota sebuah jamaah pengajian iuran uang lalu dibelikan kambing, dapatkah dianggap telah berqurban ? Menurut pemahaman kami, belum dapat dikategorikan qurban, tapi hanya latihan qurban. Sembelihannya sah, jika memenuhi syarat-syarat penyembelihan, namun tidak mendapat pahala qurban. Wallahu a’lam. Lebih baik, pihak sekolah atau pimpinan pengajian mencari siapa yang kaya dan mampu berqurban, lalu dari merekalah hewan qurban berasal, bukan berasal dari iuran semua murid tanpa memandang kaya dan miskin. Islam sangat adil, sebab orang yang tidak mampu memang tidak dipaksa untuk berqurban.

Perlu ditambahkan, bahwa dalam satu keluarga (rumah), bagaimana pun besarnya keluarga itu, dianjurkan ada seorang yang berkurban dengan seekor kambing. Itu sudah memadai dan syiar Islam telah ditegakkan, meskipun yang mendapat pahala hanya satu orang, yaitu yang berkurban itu sendiri. Hadits Nabi SAW:

إِنَّ عَلَى كُلِّ أَهْلِ بَيْتٍ فِي كُلِّ عَامٍ أُضْحِيَّةً

“Dianjurkan bagi setiap keluarga dalam setiap tahun menyembelih qurban.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, An Nasa`i, dan Ibnu Majah)

Teknis Penyembelihan

Teknis penyembelihan adalah sebagai berikut :

Hewan yang akan dikurbankan dibaringkan ke sebelah rusuknya yang kiri dengan posisi mukanya menghadap ke arah kiblat, diiringi dengan membaca doa “Robbanaa taqabbal minnaa innaka antas samii’ul ‘aliim.” (Artinya : Ya Tuhan kami, terimalah kiranya qurban kami ini, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.)

Penyembelih meletakkan kakinya yang sebelah di atas leher hewan, agar hewan itu tidak menggerak-gerakkan kepalanya atau meronta.

Penyembelih melakukan penyembelihan, sambil membaca : “Bismillaahi Allaahu akbar.” (Artinya : Dengan nama Allah, Allah Maha Besar). (Dapat pula ditambah bacaan shalawat atas Nabi SAW. Para penonton pun dapat turut memeriahkan dengan gema takbir “Allahu akbar!”)

Kemudian penyembelih membaca doa kabul (doa supaya qurban diterima Allah) yaitu : “Allahumma minka wa ilayka. Allahumma taqabbal min …” (sebut nama orang yang berkurban). (Artinya : Ya Allah, ini adalah dari-Mu dan akan kembali kepada-Mu. Ya Allah, terimalah dari…. ) (Ad Dimasyqi, 1993; Matdawam, 1984; Rifa’i et.al., 1978; Rasjid, 1990)

Penyembelihan, yang afdhol dilakukan oleh yang berqurban itu sendiri, sekali pun dia seorang perempuan. Namun boleh diwakilkan kepada orang lain, dan sunnah yang berqurban menyaksikan penyembelihan itu (Matdawam, 1984; Al Jabari, 1994).

Dalam penyembelihan, wajib terdapat 4 (empat) rukun penyembelihan, yaitu :

Adz Dzaabih (penyembelih), yaitu setiap muslim, meskipun anak-anak, tapi harus yang mumayyiz (sekitar 7 tahun). Boleh memakan sembelihan Ahli Kitab (Yahudi dan Nashrani), menurut mazhab Syafi’i. Menurut mazhab Hanafi, makruh, dan menurut mazhab Maliki, tidak sempurna, tapi dagingnya halal. Jadi, sebaiknya penyembelihnya muslim. (Al Jabari, 1994).

Adz Dzabiih, yaitu hewan yang disembelih.Telah diterangkan sebelumnya.

Al Aalah, yaitu setiap alat yang dengan ketajamannya dapat digunakan menyembelih hewan, seperti pisau besi, tembaga, dan lainnya. Tidak boleh menyembelih dengan gigi, kuku, dan tulang hewan (HR. Bukhari dan Muslim).

Adz Dzabh, yaitu penyembelihannya itu sendiri. Penyembelihan wajib memutuskan hulqum (saluran nafas) dan mari` (saluran makanan). (Mahmud Yunus, 1936)

Pemanfaatan Daging Qurban

Sesudah hewan disembelih, sebaiknya penanganan hewan qurban (pengulitan dan pemotongan) baru dilakukan setelah hewan diyakini telah mati. Hukumnya makruh menguliti hewan sebelum nafasnya habis dan aliran darahnya berhenti (Al Jabari, 1994). Dari segi fakta, hewan yang sudah disembelih tapi belum mati, otot-ototnya sedang berkontraksi karena stress. Jika dalam kondisi demikian dilakukan pengulitan dan pemotongan, dagingnya akan alot alias tidak empuk. Sedang hewan yang sudah mati otot-ototnya akan mengalami relaksasi sehingga dagingnya akan empuk.

Setelah penanganan hewan qurban selesai, bagaimana pemanfaatan daging hewan qurban tersebut ? Ketentuannya, disunnahkan bagi orang yang berqurban, untuk memakan daging qurban, dan menyedekahkannya kepada orang-orang fakir, dan menghadiahkan kepada karib kerabat. Nabi SAW bersabda :

فَكُلُوا وَأَطْعِمُوا وَادَّخِرُو

“Makanlah daging qurban itu, dan berikanlah kepada fakir-miskin, dan simpanlah.” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi, hadits shahih)

Berdasarkan hadits itu, pemanfaatan daging qurban dilakukan menjadi tiga bagian/cara, yaitu : makanlah, berikanlah kepada fakir miskin, dan simpanlah. Namun pembagian ini sifatnya tidak wajib, tapi mubah (lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid I/352; Al Jabari, 1994; Sayyid Sabiq, 1987).

Orang yang berqurban, disunnahkan turut memakan daging qurbannya sesuai hadits di atas. Boleh pula mengambil seluruhnya untuk dirinya sendiri. Jika diberikan semua kepada fakir-miskin, menurut Imam Al Ghazali, lebih baik. Dianjurkan pula untuk menyimpan untuk diri sendiri, atau untuk keluarga, tetangga, dan teman karib (Al Jabari, 1994; Rifa’i et.al, 1978).

Akan tetapi jika daging qurban sebagai nadzar, maka wajib diberikan semua kepada fakir-miskin dan yang berqurban diharamkan memakannya, atau menjualnya (Ad Dimasyqi, 1993; Matdawam, 1984)

Pembagian daging qurban kepada fakir dan miskin, boleh dilakukan hingga di luar desa/ tempat dari tempat penyembelihan (Al Jabari, 1994).

Bolehkah memberikan daging qurban kepada non-muslim ? Ibnu Qudamah (mazhab Hambali) dan yang lainnya (Al Hasan dan Abu Tsaur, dan segolongan ulama Hanafiyah) mengatakan boleh. Namun menurut Imam Malik dan Al Laits, lebih utama diberikan kepada muslim (Al Jabari, 1994).

Penyembelih (jagal), tidak boleh diberi upah dari qurban. Kalau mau memberi upah, hendaklah berasal dari orang yang berqurban dan bukan dari qurban (Abdurrahman, 1990). Hal itu sesuai hadits Nabi SAW dari sahabat Ali bin Abi Thalib RA :

وَأَنْ لَا أُعْطِيَ الْجَازِرَ مِنْهَا شَيْئًا

“…(Rasulullah memerintahkan kepadaku) untuk tidak memberikan kepada penyembelih sesuatu daripadanya (hewan qurban).” (HR. Bukhari dan Muslim) (Al Jabari, 1994)

Tapi jika jagal termasuk orang fakir atau miskin, dia berhak diberi daging qurban. Namun pemberian ini bukan upah karena dia jagal, melainkan sedekah karena dia miskin atau fakir (Al Jabari, 19984).

Menjual kulit hewan adalah haram, demikianlah pendapat jumhur ulama (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid I/352). Dalilnya sabda Nabi SAW:

وَلَا تَبِيعُوا لُحُومَ الْهَدْيِ وَالْأَضَاحِيِّ فَكُلُوا وَتَصَدَّقُوا وَاسْتَمْتِعُوا بِجُلُودِهَا وَلَا تَبِيعُوهَا

“Dan janganlah kalian menjual daging hadyu (qurban orang haji) dan daging qurban. Makanlah dan sedekahkanlah dagingnya itu, ambillah manfaat kulitnya, dan jangan kamu menjualnya…” HR. Ahmad) (Matdawam, 1984).

Sebagian ulama seperti segolongan penganut mazhab Hanafi, Al Hasan, dan Al Auza’i membolehkannya. Tapi pendapat yang lebih kuat, dan berhati-hati (ihtiyath), adalah janganlah orang yang berqurban menjual kulit hewan qurban. Imam Ahmad bin Hambal sampai berkata,”Subhanallah ! Bagaimana harus menjual kulit hewan qurban, padahal ia telah dijadikan sebagai milik Allah ?” (Al Jabari, 1994).

Kulit hewan dapat dihibahkan atau disedekahkan kepada orang fakir dan miskin. Jika kemudian orang fakir dan miskin itu menjualnya, hukumnya boleh. Sebab -menurut pemahaman kami– larangan menjual kulit hewan qurban tertuju kepada orang yang berqurban saja, tidak mencakup orang fakir atau miskin yang diberi sedekah kulit hewan oleh orang yang berqurban. Dapat juga kulit hewan itu dimanfaatkan untuk kemaslahatan bersama, misalnya dibuat alas duduk dan sajadah di masjid, kaligrafi Islami, dan sebagainya.

Penutup

Kami ingin menutup risalah sederhana ini, dengan sebuah amanah penting : hendaklah orang yang berqurban melaksanakan qurban karena Allah semata. Jadi niatnya haruslah ikhlas lillahi ta’ala, yang lahir dari ketaqwaan yang mendalam dalam dada kita. Bukan berqurban karena riya` agar dipuji-puji sebagai orang kaya, orang dermawan, atau politisi yang peduli rakyat, dan sebagainya. Sesungguhnya yang sampai kepada Allah SWT adalah taqwa kita, bukan daging dan darah qurban kita. Allah SWT berfirman:

لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ

“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketaqwaan daripada kamulah yang mencapainya.” (TQS Al Hajj : 37) [ ]

DAFTAR PUSTAKA

  • Abdurrahman. 1990. Hukum Qurban, ‘Aqiqah, dan Sembelihan. Cetakan Pertama. Bandung : Sinar Baru. 52 hal.
  • Ad Dimasyqi, Muhammad bin Abdurrahman Asy Syafi’i. 1993. Rohmatul Ummah (Rahmatul Ummah Fi Ikhtilafil A`immah). Terjemahan oleh Sarmin Syukur dan Luluk Rodliyah. Cetakan Pertama. Surabaya : Al Ikhlas. 554 hal.
  • Al Jabari, Abdul Muta’al. 1994. Cara Berkurban (Al Udh-hiyah Ahkamuha wa Falsafatuha At Tarbawiyah). Terjemahan oleh Ainul Haris. Cetakan Pertama. Jakarta : Gema Insani Press. 83 hal.
  • Anis, Ibrahim et.al. 1972. Al Mu’jam Al Wasith. Kairo : Tanpa Penerbit. 547 hal.
  • Ash Shan’ani. Tanpa Tahun. Subulus Salam. Juz IV. Bandung : Maktabah Dahlan.
  • Ibnu Khalil, ‘Atha`. 2000. Taysir Al Wushul Ila Al Ushul. Cetakan Ketiga. Beirut : Darul Ummah. 310 hal.
  • Ibnu Rusyd. 1995. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid. Beirut : Daarul Fikr. 404 hal.
  • Matdawam, M. Noor. 1984. Pelaksanaan Qurban dalam Hukum Islam. Cetakan Pertama. Yogyakarta : Yayasan Bina Karier. 41 hal.
  • Rasjid, H.Sulaiman. 1990. Fiqh Islam. Cetakan Keduapuluhtiga. Bandung : Sinar Baru. 468 hal.
  • Rifa’i, Moh. et.al. 1978. Terjemah Khulashah Kifayatul Akhyar. Semarang : Toha Putra 468 hal.
  • Sabiq, Sayyid. 1987. Fikih Sunnah (Fiqhus Sunnah). Jilid 13. Cetakan Kedelapan. Terjemahan oleh Kamaluddin A. Marzuki. Bandung : Al Ma’arif. 229 hal
  • Yunus, Mahmud. 1936. Al Fiqh Al Wadhih. Juz III. Jakarta : Maktabah Sa’adiyah Putera. 48 hal.

Read Full Post »


METODE PENENTUAN IDUL ADHA

Tanya :

Ustadz, mohon diterangkan bagaimana metode penentuan Idul Adha?

Jawab :

Penentuan Idul Adha (10 Dzulhijjah) bergantung pada penentuan awal bulan Dzulhijjah. Dalam hal ini para fuqaha sepakat, bahwa penentuan awal bulan Dzulhijjah hanya didasarkan pada rukyatul hilal saja, bukan dengan hisab.

Ini ditegaskan oleh Syaikh Abdul Majid al-Yahya dalam kitabnya Atsar Al-Qamarain fi Al-Ahkam Al-Syar’iyah,”Tak ada khilafiyah di antara fuqaha, bahwa rukyatul hilal adalah standar/patokan dalam penentuan masuknya bulan Dzulhijjah….” (Abdul Majid al-Yahya, Atsar Al-Qamarain fi Al-Ahkam Al-Syar’iyah, hal. 198).

Dalilnya adalah dalil-dalil umum bahwa metode standar untuk menentukan awal bulan-bulan Qamariyah adalah rukyatul hilal saja. Misalkan hadits Nabi SAW,”Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal.” (HR Bukhari no 1776; Muslim no 1809; At-Tirmidzi no 624; An-Nasa`i no 2087). (Lihat Abdul Majid al-Yahya, ibid., hal. 199; Ahmad Muhammad Syakir, Awa`il al-Syuhur Al-Arabiyah, hal.4; Fahad Al-Hasun, Dukhul al-Syahr al-Qamari, hal. 14).

Berdasarkan hadits-hadits seperti itu, lahirlah ijma’ ulama bahwa hisab astronomis (al-hisab al-falaki) tidak boleh dijadikan sandaran untuk menentukan masuknya awal bulan Qamariyah. Ijma’ ini telah diriwayatkan oleh Ibnu Mundzir, Ibnu Taimiyah, Abul Walid al-Baji, Ibnu Rusyd, Al-Qurthubi, Ibnu Hajar, Al-‘Aini, Ibnu Abidin, dan Syaukani. (Lihat Majmu’ al-Fatawa, 25/132; Fathul Bari, 4/158; Tafsir al-Qurthubi, 2/293; Hasyiyah Ibnu Abidin, 3/408; Bidayatul Mujtahid, 2/557).

Namun khusus untuk penentuan awal bulan Dzulhijjah yang terkait dengan Idul Adha, rukyatul hilal yang menjadi patokan utama adalah rukyatul hilal penguasa Makkah, bukan dari negeri-negeri Islam yang lain. Kecuali jika penguasa Makkah tidak berhasil merukyat hilal, barulah rukyat dari negeri yang lain dapat dijadikan patokan.

Dalilnya adalah hadits dari Husain bin Al-Harits Al-Jadali RA, dia berkata,“Amir (penguasa) Makkah berkhutbah kemudian dia berkata,”Rasulullah telah berpesan kepada kita agar kita menjalankan manasik haji berdasarkan rukyat. Lalu jika kita tidak melihat hilal, dan ada dua orang saksi yang adil yang menyaksikannya, maka kita akan menjalankan manasik haji berdasarkan kesaksian keduanya.” (HR Abu Dawud, hadits no 2339. Imam Daruquthni berkata,”Hadits ini isnadnya muttashil dan shahih.” Lihat Sunan Ad-Daruquthni, 2/267. Syaikh Nashiruddin Al-Albani berkata,”Hadits ini shahih.” Lihat Nashiruddin Al-Albani, Shahih Sunan Abu Dawud, 2/54).

Hadits ini menunjukkan bahwa yang mempunyai otoritas menetapkan hari-hari manasik haji, seperti hari Arafah, Idul Adha, dan hari-hari tasyriq, adalah Amir Makkah (penguasa Makkah), bukan yang lain. Pada saat tiadanya pemerintahan Islam (Khilafah) seperti sekarang, kewenangan itu tetap dimiliki penguasa Makkah sekarang (Saudi Arabia), meski sistem pemerintahannya berbentuk kerajaan, bukan Khilafah.

Kesimpulannya, penentuan Idul Adha ditetapkan berdasarkan rukyatul hilal, bukan hisab. Hanya saja, rukyat yang diutamakan adalah rukyat penguasa Makkah. Kecuali jika penguasa Makkah tidak berhasil merukyat, barulah diamalkan rukyat dari negeri-negeri yang lain. Wallahu a’lam.

Malang, 31 Oktober 2010

Muhammad Shiddiq Al-Jawi

http://www.khilafah1924.org/index.php?option=com_content&task=view&id=789&Itemid=33

Read Full Post »


Tanya :

Ustadz, bagaimana hukumnya pembiayaan talangan haji?

Jawab :

Pembiayaan talangan haji adalah pinjaman (qardh) dari bank syariah kepada nasabah untuk menutupi kekurangan dana guna memperoleh kursi (seat) haji pada saat pelunasan BPIH (Biaya Perjalanan Ibadah Haji). Dana talangan ini dijamin dengan deposit yang dimiliki nasabah. Nasabah kemudian wajib mengembalikan sejumlah uang yang dipinjam itu dalam jangka waktu tertentu. Atas jasa peminjaman dana talangan ini, bank syariah memperoleh imbalan (fee/ujrah) yang besarnya tak didasarkan pada jumlah dana yang dipinjamkan.

Dasar fikihnya adalah akad qardh wa ijarah, sesuai Fatwa DSN (Dewan Syariah Nasional) MUI Nomor 29/DSN-MUI/VI/2002 tanggal 26 Juni 2002 tentang biaya pengurusan haji oleh LKS (lembaga keuangan syariah). Jadi akad qardh wa ijarah adalah gabungan dua akad, yaitu akad qardh (pinjaman) dengan akad ijarah (jasa), yaitu jasa LKS memberikan pinjaman kepada nasabah. Dalil utama fatwa DSN ini antara lain dalil yang membolehkan ijarah (seperti QS Al-Qashash [28]:26) dan dalil yang membolehkan meminjam uang (qardh) (seperti QS Al-Baqarah [2]:282).

Menurut kami, akad qardh wa ijarah tidak sah menjadi dasar pembiayaan talangan haji, karena : Pertama, dalil yang digunakan tak sesuai untuk membolehkan akad qardh wa ijarah. Sebab dalil yang ada hanya membolehkan qardh dan ijarah secara terpisah. Tak ada satupun dalil yang membolehkan qardh dan ijarah secara bersamaan dalam satu akad.

Kedua, penggabungan dua akad menjadi satu akad sendiri hukumnya tidak boleh. Memang sebagian ulama membolehkan, seperti Imam Ibnu Taimiyah (ulama Hanabilah) dan Imam Asyhab (ulama Malikiyah). Namun yang rajih adalah pendapat yang tidak membolehkan, yakni pendapat jumhur ulama empat mazhab, yakni ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. (Imam Sarakhsi, Al-Mabsuth, 13/16; Hasyiah al-Dasuqi ‘Ala Al-Syarh al-Kabir, 3/66; Imam Nawawi, Al-Majmu’, 9/230; Al-Syarh al-Kabir, 11/230; M. Abdul Aziz Hasan Zaid, Al-Ijarah Baina Al-Fiqh al-Islami wa al-Tathbiq al-Mu’ashir, hal. 45).

Ketiga, menurut ulama yang membolehkan penggabungan dua akad pun, penggabungan qardh dan ijarah termasuk akad yang tak dibolehkan. (Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, 29/62; Fahad Hasun, Al-Ijarah al-Muntahiyah bi At-Tamlik, hal. 24).

Keempat, akad qardh wa ijarah tidak memenuhi syarat ijarah. Sebab dalam akad ijarah, disyaratkan obyek akadnya bukan jasa yang diharamkan. (M. Abdul Aziz Hasan Zaid, ibid., hal. 17; Taqiyuddin Nabhani, An-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, hal.93).

Dalam akad qardh wa ijarah, obyek akadnya adalah jasa qardh dengan mensyaratkan tambahan imbalan. Ini tidak boleh, sebab setiap qardh (pinjaman) yang mensyaratkan tambahan adalah riba, meski besarnya tak didasarkan pada jumlah dana yang dipinjamkan. Kaidah fikih menyebutkan : Kullu qardhin syaratha fiihi an yazidahu fahuwa haram bighairi khilaf. (Setiap pinjaman yang mensyaratkan tambahan hukumnya haram tanpa ada perbedaan pendapat). (M. Sa’id Burnu, Mausu’ah al-Qawa’id al-Fiqhiyah, 8/484).

Kesimpulannya, pembiayaan talangan haji hukumnya haram. Sebab fatwa DSN tentang akad qardh wa ijarah yang mendasarinya tidak sah secara syar’i. Dengan kata lain, fatwa DSN mengenai qardh wa ijarah menurut kami keliru dan tidak halal diamalkan. Wallahu a’lam.

Jakarta, 4 Oktober 2010

Muhammad Shiddiq Al-Jawi

sumber: http://www.khilafah1924.org/index.php?option=com_content&task=view&id=786&Itemid=33

Read Full Post »


Tanya :
Menjelang Idul Fitri biasanya banyak orang menukar uang besar dengan uang receh di pinggir jalan, tapi dengan nilai yang tidak sama. Misal : satu lembar uang seratus ribuan (Rp100.000) ditukar dengan uang receh ribuan (Rp1000) milik penjual receh sebanyak 95 lembar (Rp95.000), bukan 100 lembar. Atau satu lembar uang seratus ribuan (Rp100.000) dan selembar uang lima ribuan (Rp5000) (total Rp105.000) ditukar dengan uang receh ribuan (Rp1000) milik penjual receh sebanyak 100 lembar (Rp100.000). Apakah penukaran uang ini termasuk riba? (Haidar, Semarang).

Jawab :

Benar, penukaran uang sejenis (seperti rupiah dengan rupiah) dengan nilai tak sama seperti fakta di atas termasuk riba yang haram hukumnya. Hal itu dikarenakan penukaran uang seperti itu tidak memenuhi syarat kesamaan nilai.

Perlu diketahui penukaran uang sejenis wajib memenuhi dua syarat. Jika terpenuhi dua syaratnya, hukumnya mubah. Namun jika tak terpenuhi salah satu atau keduanya, hukumnya haram karena kelebihan/tambahan yang ada adalah riba.

Dua syarat tersebut adalah : Pertama, harus ada kesamaan (at-tasawi) dalam kuantitas (al-kamiyah) atau ukuran/kadar (al-miqdar).

Kedua, harus ada serah terima (at-taqabudh) di majelis akad, yakni maksudnya harus kontan, tidak boleh ada penundaan pada salah satu dari apa yang dipertukarkan. (Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah al-Dustur, Juz II hal. 155; ‘Ayid Fadhl al-Sya’rawi, Al-Masharif al-Islamiyah, hal. 30).

Dua syarat di atas dalilnya antara lain hadits yang diriwayatkan dari Abu Said al-Khudri RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda :

الذهب بالذهب، والفضة بالفضة، والبر بالبر، والشعير بالشعير، والتمر بالتمر، والملح بالملح، مثلاً بمثل، يداً بيد، فمن زاد أو استزاد فقد أربى، الآخذ والمعطي فيه سواء

“Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus sama dengan sama (sama beratnya/takarannya), dan dari tangan ke tangan (kontan). Maka barangsiapa menambah atau minta tambah, maka dia telah berbuat riba, yang mengambil dan yang memberi dalam jual beli ini sama saja (dosanya).” (HR Muslim, no 1584).

Diriwayatkan oleh Ubadah bin Shamit RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda :

الذهب بالذهب، والفضة بالفضة، والبر بالبر، والشعير بالشعير، والتمر بالتمر، والملح بالملح، مثلاً بمثل، سواء بسواء، يداً بيد، فإذا اختلفت هذه الأصناف فبيعوا كيف شئتم، إذا كان يداً بيد

“Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus semisal dengan semisal, sama dengan sama (sama beratnya/takarannya), dan dari tangan ke tangan (kontan). Maka jika berbeda jenis-jenisnya, juallah sesuka kamu asalkan dari tangan ke tangan (kontan).” (HR Muslim no 1210; At-Tirmidzi III/532; Abu Dawud III/248).

Dari dua hadits di atas dapat dipahami bahwa dalam penukaran barang-barang ribawi (yaitu emas, perak, gandum, jewawut, kurma, dan garam) terdapat ketentuan sebagai berikut.

Dari hadits Abu Said al-Khudri (hadits pertama), dapat dipahami jika barang yang ditukarkan masih satu jenis (misal emas dengan emas), syaratnya ada dua; Pertama, harus ada kesamaan (at-tasawi) dalam hal beratnya (al-wazan) atau takarannya (al-kail). Hal ini didasarkan pada bunyi hadits “mitslan bi mitslin”, yakni dalam penukaran barang-barang ribawi (al-ashnaf al-ribawiyah) tersebut harus dilakukan dalam jumlah atau ukuran yang sama. Jadi diharamkan adanya tambahan atau kelebihan (at-tafadhul).

Kedua, harus ada serah terima (taqabudh) di majelis akad, yakni dilakukan secara kontan. Hal ini didasarkan pada bunyi hadits “yadan bi yadin” (dari tangan ke tangan), yakni dalam penukaran barang-barang ribawi (al-ashnaf al-ribawiyah) harus dilakukan secara kontan. Jadi diharamkan jika terjadi penundaan (al-ta`jil).

Dari hadits Ubadah bin Shamit (hadits kedua) dapat dipahami bahwa jika barang yang ditukarkan tidak satu jenis (misal emas dengan perak), maka boleh ada kelebihan atau tambahan, dan syaratnya hanya satu saja, yaitu harus dilakukan secara kontan. Ini ditunjukkan oleh lafazh hadits “idza kaana yadan biyadin” (jika hal itu dilakukan secara kontan). (‘Ayid Fadhl al-Sya’rawi, Al-Masharif al-Islamiyah, hal. 30).

Dalil-dalil di atas berlaku pula untuk penukaran mata uang (al-sharf), sebagaimana berlaku pada emas dan perak seperti terdapat dalam teks hadits. Ini bukan karena Qiyas, melainkan karena sifat yang ada emas dan perak, yaitu sebagai mata uang, juga terdapat pada uang (al-nuqud). (Taqiyuddin an-Nabhani, an-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, hal. 264)

Dengan demikian, untuk penukaran uang yang sejenis (misal rupiah dengan rupiah, atau dolar AS dengan dolar AS), syaratnya ada dua. Yaitu pertama, harus sama nilainya. Kedua, harus dilakukan secara kontan. Sedangkan untuk penukaran uang yang tak sejenis (misal rupiah dengan dolar AS), syaratnya satu saja, yaitu harus dilakukan secara kontan. (Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah al-Dustur, Juz II hal. 155; Abul A’la al-Maududi, Ar-Riba, hal. 114; Sa’id bin Ali al-Qahthani, Ar-Riba Adhraruhu wa Atsaruhu, hal. 23).

Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya menukar uang seratus ribuan (Rp100.000) dengan uang receh ribuan (Rp1000) milik penjual receh sebanyak 95 lembar. Sebab nilainya tidak sama. Dalam hal ini si penjual uang receh telah mendapat kelebihan Rp5000, yang tak diragukan lagi adalah riba yang haram hukumnya.

Demikian pula haram hukumnya menukar satu lembar uang seratus ribuan (Rp100.000) ditambah selembar uang lima ribuan (Rp5000) (total nilainya Rp105.000) dengan uang receh ribuan (Rp1000) milik penjual receh sebanyak 100 lembar (Rp100.000). Sebab nilainya tidaklah sama. Dalam hal ini si penjual uang receh juga mendapat kelebihan Rp5000, yang jelas merupakan riba yang haram hukumnya.

Namun yang berdosa bukan hanya penjual receh, melainkan termasuk juga yang menukarkan. Karena menurut hadits, baik pemberi maupun penerima sama-sama telah melakukan transaksi riba. Perhatikanlah sabda Nabi SAW :

فمن زاد أو استزاد فقد أربى، الآخذ والمعطي فيه سواء

“Barangsiapa menambah (yaitu dari pihak pemberi/pembeli) atau minta tambah (yaitu dari pihak penerima/penjual), maka ia telah melakukan riba, yang mengambil dan yang memberi dalam jual beli ini sama saja (dosanya).” (HR Muslim, no 1584).

Ingatlah bahwa riba adalah dosa besar. Na`uzhu billah mindzalik. Sabda Nabi SAW :

اجتنبوا السبع الموبقات قالوا: يا رسول الله، وما هن؟ قال: الشرك، والسحر، وقتل النفس التي حرّم الله إلا بالحق، وأكل الربا، وأكل مال اليتيم، والتّولّي يوم الزّحف، وقذف المحصنات الغافلات المؤمنات

“Jauhilah olehmu tujuh perkara yang membinasakan.” Para shahabat bertanya,”Wahai Rasulullah, apa itu?” Rasulullah menjawab,’Syirik, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah untuk membunuhnya kecuali dengan alasan yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan menuduh zina kepada perempuan mukmin yang baik-baik.” (HR Bukhari no 2015, Muslim no 89)

Dari Abdullah bin Mas’ud RA, Rasulullah SAW bersabda :

الربا ثلاثة وسبعون باباً أيسرها مثل أن ينكح الرجل أمه

“Riba memiliki 73 macam pintu (tingkatan dosa). Dosa riba yang paling ringan adalah seperti seorang laki-laki yang berzina dengan ibu kandungnya sendiri.” (HR Al-Hakim dalam al-Mustadrak, II/37. Beliau berkata : Ini adalah hadits shahih menurut syarat Bukhari dan Muslim meski keduanya tidak meriwayatkan hadits tersebut, dan penilaian kesahihan hadits ini disetujui oleh Imam Dzahabi. Dinilai shahih pula oleh Syaikh Nashiruddin al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah, II/27).

Dari Abdullah bin Hanzhalah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda :

درهم ربا يأكله الرجل وهو يعلم أشدُّ من ستٍّ وثلاثين زنية

“Satu dirham riba yang dimakan oleh seseorang, padahal dia tahu, lebih besar dosanya dari 36 kali berzina.” (HR Ahmad dalam al-Musnad, V/225. Syaikh Nashiruddin al-Albani berkata,”Sanad hadits ini shahih menurut syarat Syaikhaini (Bukhari dan Muslim)”. Lihat Silsilah Al-Ahadits al-Shahihah, II/29).

Maka dari itu, sudah seharusnya kita semua menghindarkan diri dari semua jenis riba, termasuk riba dalam penukaran uang receh yang tidak senilai ini.

Sudah saatnya umat Islam menghapuskan riba yang berlumuran dosa ini dalam segala bentuknya. Sebab jika tidak, Allah SWT melalui Nabi-Nya telah memperingatkan dengan keras, bahwa suatu negeri yang bergelimang riba, akan mendapat azab Allah. Sabda Rasulullah SAW :

إذا ظهر الزنا والربا في قرية فقد أحلّوا بأنفسهم عذاب الله

“Jika telah merajalela zina dan riba di suatu negeri, maka sungguh mereka telah menghalalkan diri mereka untuk menerima azab Allah.” (HR Al-Hakim dalam al-Mustadrak, II/37. Dinilai shahih oleh Imam al-Hakim, dan penilaian ini disetujui oleh Imam Dzahabi).

Sampai kapankah kita terus menerus menderita karena diazab oleh Allah, baik itu dalam bentuk kemiskinan, kelaparan, kehinaan, gempa bumi, banjir, tanah longsor, gunung meletus, maupun azab-azab Allah lainnya? Wallahu a’lam.

Yogyakarta, 2 September 2010
Muhammad Shiddiq Al-Jawi

klik: sumber



Read Full Post »


Kiat Mendapatkan Lailatul Qadar bagi Muslimah yang sedang Haidl & Nifas

Oleh. Dra. Rahma Qomariyah, M.Pd.I[1]

Ramadlan adalah bulan yang dinanti-nanti kaum muslimin. Tidak ada seorangpun ingin melewatkannya tanpa mengisi dengan ibadah.Ramadlan adalah bulan yang penuh rahmat dan ampunan. Allah menjanjikan pahala yang berlipat ganda sebagai ganjaran ibadah hamba-Nya. Rasulullah bersabda yang artinya: …siapa saja yang mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan sunnah, maka akan diberi pahala sama dengan melaksanakan amalan fardlu di bulan yang lain. Dan siapa saja yang melaksanakan kewajiban di bulan Ramadlan, maka akan mendapat pahala 70 kali[2].

Pada bulan Ramadlan ada malam yang mulia dan istimewa, yaitu satu malam yang nilainya lebih baik baik dari 1000 bulan. Firman Allah surat al Qadr; 1-3:

إِنّا أَنزَلنٰهُ فى لَيلَةِ القَدرِ ﴿١﴾ وَما أَدرىٰكَ ما لَيلَةُ القَدرِ ﴿٢﴾ لَيلَةُ القَدرِ خَيرٌ مِن أَلفِ شَهرٍ ﴿٣﴾

1. Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan[3]

2. dan tahukah kamu Apakah malam kemuliaan itu?

3. malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.

Maksud satu malam itu lebih baik dari pada 1000 bulan adalah beramal shaleh pada malam itu lebih baik dari pada beramal shaleh seribu bulan di bulan yang lain[4]. Sementara seribu bulan itu setara dengan 83 tahun 4 bulan. Padahal menurut Rasulullah umur umatnya rata-rata 60 tahun  sampai 70 tahun, dan sedikit yang diatas 70 tahun. Itupun belum tentu kita mampu menggunakan secara efektif untuk beribadah. Bisa jadi diantara kita ada yang memulai ibadah secara benar sejak umur 15 tahun atau 20 tahun. Bahkan  ada yang telat, baru beribadah, yaitu melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya, setelah sudah tumbuh uban di kepala. Jadi baru sadar bahwa manusia membutuhkan ibadah kepada Allah setelah ada  sinyal yang senantiasa mengingatkannya bahwa dia sudah tua.

Lailatul Qadar diturunkan Allah pada sepuluh hari terakhir Ramadhan. Karenanya Rasulullah pada waktu tersebut mengintai dan memburunya. Beliau  semakin menggiatkan ibadahnya untuk mendapatkan Lailatul Qadar.

Mengingat keistimewaan malam Lailatul Qadar yang luar biasa itu, tentu kaum muslim ingin mendapatkannya. Termasuk muslimah juga tidak mau ketinggalan, padahal belum tentu pada sepuluh hari terakhir dia dalam keadaan suci. Karenanya kita harus mengetahui bagaimana kiat mendapatkan Lailatul Qadar, sementara kita dalam keadaan haidl atau nifas.

Secara umum kiat untuk memperoleh Lailatul Qadar adalah sebagai berikut: Menghidupkan malam  pada sepuluh hari terakhir. Dari Aisyah, ia berkata:

ا ن النبى ص م اذا د خل العشرالاواخر احي اليل وايقظ اهله وشد المئزر

Bahwa Nabi Saw. Apabila sepuluh hari terakhir sudah masuk, maka beliau menghidupkan malam itu, membangunkan keluarganya dan mengikat sarungnya ( HR Ahmad, Bukhari-Muslim)

Dari  hadits tersebut dijelaskan bahwa Rasulullah senantiasa menghidupkan sepuluh hari terakhir Ramadlan, dan membangunkan keluarganya. Ada keterangan bahwa Rasulullah membangunkan anggota keluarganya, sekalipun mereka dalam keadaan haidl. Tujuannya untuk menghidupkan malam Lailatul Qadar dengan ibadah. Tentu saja bagi wanita yang haidl hanya melakukan ibadah yang dibolehkan baginya.

Bagi muslim dan muslimah menghidupkan malam Lailatul Qadar dengan ibadah sebagai berikut:

1. i’tikaf[5]. Diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari dan Muslim, bahwa Rasulullah beri’tikaf 10 hari terakhir Ramadlan  sampai beliau wafat.

2.      Shalat.

3.      Membaca Al Qur’an. Para sahabat biasa mengkhatamkan Al Qur’an sehari semalam, diantaranya Ustman bin Affan, Tamim, Said dan Zubair selama Ramadlan [6].

4.      Berdzikir, memohon ampun kepada Allah dan berdo’a. Dan do’a yang biasa dipanjatkan Rasulullah pada malam lailatul Qadar[7] adalah:

ا للهم انك عفو تحب العفو فاعف عنى

Ya Allah sesungguhnya Engkau maha Pemaaf, dan suka memaafkan, maka maafkan aku.

Adapun bagi Muslimah yang sedang haidl dan nifas, maka  menghidupkan malam lailatul qadar dengan cara berdzikir, memohon ampun kepada Allah dan berdo’a. Wahai saudariku, karena kita muslimah, tentu  tidak bisa terus suci sepanjang Ramadlan. Karenanya jika dalam keadaan suci perbanyaklah  ibadah yang mengharuskan ditunaikan dalam keadaan suci.


[1] Nara Sumber Radio pada  Program Radio Cermin Wanita Sholihah, MMC- Muslimah HTI;  Kandidat Doctor Pendidikan dan Pemikiran Islam Universitas Ibn Khaldun Bogor.

[2] Ibn Huzaimah at Targhib II/217

[3] Malam kemuliaan dikenal dalam bahasa Indonesia dengan malam Lailatul Qadar Yaitu suatu malam yang penuh kemuliaan, kebesaran, karena pada malam itu permulaan turunnya Al Quran.

[4] Tafsir Jalalain, tafsir surat al Qadr ayat 3

[5] Bagi wanita yang sedang istihadlah(keluar darah penyakit) boleh beri’tikaf. Lihat Nailul Author bab i’tikaf

[6] at Tibyan fi Hamalah Al Qur’an, an Nawawi hlm. 47-48

[7] HR Ahmad, Ibn Majah dan Turmudzi dalam Fikih sunnah , Sayyid Sabiq, bab Lailatul Qadar

Read Full Post »


Tanya :

Ustadz, bagaimana peran Khilafah nanti dalam menentukan awal Ramadhan dan akhir Ramadhan (Idul Fitri)?

Jawab :

Khalifah mempunyai hak melakukan adopsi (tabanni) hukum syariah Islam dan melegislasikannya menjadi undang-undang yang berlaku mengikat bagi publik. Adopsi ini dilaksanakan Khalifah jika terdapat khilafiyah dalam hukum syariah hasil ijtihad. Maka ketika Khalifah memilih satu pendapat, rakyat wajib mentaatinya sehingga perbedaan pendapat tidak ada lagi. Kaidah fiqih menyebutkan : Amru al-imam yarfa’u al-khilaf fi al-masa`il al-ijtihadiyah (Perintah Imam/Khalifah menghilangkan perbedaan pendapat dalam masalah-masalah hasil ijtihad/khilafiyah). (M. Khair Haikal, Al-Jihad wa al-Qital fi as-Siyasah al-Syar’iyah, III/1797; M. Shidqi al-Burnu, Mausu’ah al-Qawa’id al-Fiqhiyah, I/268).

Namun jika khilafiyah itu terjadi dalam masalah-masalah ibadah, seperti shalat tarawih 8 rakaat atau 20 rakaat, shalat Shubuh dengan qunut atau tidak, hukum dasarnya ialah Khalifah tidak mengadopsi. Maka kaum muslimin, misalnya, tidak diwajibkan shalat sama dengan mazhab Khalifah dalam jumlah rakaat shalat tarawih, atau dalam pengamalan qunut dalam shalat Shubuh, dan seterusnya.

Ada dua alasan mengapa Khalifah tak melakukan adopsi dalam hukum ibadah yang khilafiyah. Pertama, karena tak sesuai dengan fakta adopsi, mengingat adopsi terjadi pada interaksi antara sesama manusia, misalnya dalam hukum muamalah dan uqubat, bukan pada interaksi antara manusia dengan Allah SWT. Kedua, karena adopsi dalam masalah ibadah akan menimbulkan rasa sempit (haraj) di kalangan umat. (Mahmud al-Khalidi, Qawa’id Nizham al-Hukm fi al-Islam, hal. 357)

Tapi ini bukan berarti haram hukumnya Khalifah mengadopsi hukum ibadah. Maksudnya ialah lebih baik Khalifah tidak mengadopsi. Kalau Khalifah mengadopsi hukum ibadah, hukumnya boleh, tidak haram. Imam Nawawi berpendapat boleh hukumnya Khalifah mengadopsi hukum ibadah. Seperti dikutip Imam Suyuthi, Imam Nawawi menyatakan,”Kalau Khalifah memerintahkan umat untuk berpuasa sunnah tiga hari dalam rangka istisqa (minta turunnya hujan), umat wajib mentaati perintahnya.” (Imam Suyuthi, Al-Asybah wa An-Nazha`ir, hal. 527).

Bahkan mengadopsi hukum ibadah dapat menjadi wajib bagi Khalifah, jika terkait dengan persatuan umat dan kesatuan negara yang wajib dijaga Khalifah. Jadi meski hukum dasarnya Khalifah tak mengadopsi, tapi demi kesatuan umat dan persatuan negara, Khalifah akan mengadopsi beberapa hukum ibadah, seperti penentuan waktu ibadah haji, penentuan awal Ramadhan, dan penentuan Idul Fitri dan Idul Adha. (Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, hal.21).

Maka dari itu, meski penentuan awal dan akhir Ramadhan merupakan masalah khilafiyah, Khalifah nanti akan mengadopsi hukum dalam masalah ini. Tentu pendapat yang diadopsi adalah pendapat yang kuat (rajih) yang sejalan dengan persatuan umat dan kesatuan negara. Yaitu pendapat jumhur ulama yang mewajibkan penggunaan rukyatul hilal (bukan hisab) yang diberlakukan seluruh dunia. Kata Wahbah Az-Zuhaili,”Pendapat jumhur inilah yang rajih menurut saya, untuk menyatukan ibadah kaum muslimin dan mencegah perbedaan pendapat yang tak dapat diterima lagi di masa sekarang.” (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, II/610, Ahmad bin Muhammad Shiddiq al-Ghumari, Taujih al-Anzhar li Tauhid al-Muslimin fi al-Shaum wa al-Ifthar, hal.19).

Jadi ketika Khalifah nanti melakukan rukyat, hasil rukyat akan diberlakukan global kepada seluruh umat Islam. Hal ini ditegaskan oleh Imam Al-Maziri ketika mensyarah hadis-hadis Shahih Muslim tentang rukyatul hilal. “Jika hilal telah terbukti oleh Khalifah maka seluruh negeri-negeri Islam wajib merujuk hasil rukyat itu…sebab rukyat Khalifah berbeda dengan rukyat dari selain Khalifah. Karena seluruh negeri-negeri yang berada di bawah pemerintahannya dianggap bagaikan satu negeri.” (Imam al-Maziri, Al-Mu’allim bi Fawa`id Muslim, Tunis : Ad-Dar At-Tunisiyah, II/44-45). Wallahu a’lam.

Yogyakarta, 30 juli 2010

Muhammad Shiddiq al-Jawi

Read Full Post »

Older Posts »