Ada pertanyaan menarik setiap kali konsep bisnis syariah dilontarkan dalam berbagai kesempatan. Bahkan pertanyaan ini pernah juga menjadi dialog yang berkepanjangan di salah satu milist para peminat ekonomi syariah di Indonesia. Pertanyaan itu adalah, “Mengapa harus syariah ?”.
Ya, mengapa harus syariah ? Sebagian orang mungkin akan berkomentar. Toh tanpa syariah, ekonomi kita dan bangsa ini bisa berjalan dengan ‘baik’. Lihatlah data yang dilansir oleh berbagai media yang bersumber dari pemerintah. Angka pertumbuhan positif mencapai 6,3%, laju inflasi mampu ditekan sampai pada 6,25%, suku bunga rata-rata 8,0%, nilai tukar rupiah rata-rata Rp.9.135,- per USD, cadangan devisa sebesar 52,8 miliar USD, IHSG berhasil menembus level psikologis 2.000. Pertumbuhan itu juga diikuti dengan turunnya tingkat pengangguran terbuka sebesar 384 ribu dibanding tahun 2006, serta turunnya angka kemiskinan sebesar 2,13 juta dibandingkan tahun 2006. Semuanya menunjukkan, tanpa perlu syariah, ekonomi dan bisnis di negeri ini bahkan dunia bisa ‘menghidupi’ semua umat manusia.
Tidak jarang, ada pula orang yang menganggap bahwa sistem ekonomi termasuk di dalamnya bisnis yang sekarang (baca: kapitalis-liberal) dan banyak diadopsi orang, perusahaan dan berbagai negara ini adalah konsep terbaik. Final ! Khususnya mereka yang banyak mendapatkan kenyamanan (comfort) dalam sistem ini. Barangkali tidak salah, apa yang dikatakan Rhenald Kasali dalam bukunya “Change!”. Intinya dikatakan, “Awalnya seseorang membuat sistem (mekanisme tertentu). Namun berikutnya ia sendiri terjebak dalam sistem itu, hingga ia tidak mampu untuk berubah meski ke arah yang lebih baik”. Sindiran ini bisa jadi, sadar atau tidak kita lakukan juga. Termasuk saat ini, saat didera oleh berbagai krisis kehidupan.
Baiklah, saya akan coba ajukan beberapa pandangan, mengapa harus syariah. Dan benarkah ini sebuah alternatif yang lebih baik ?
Pertama. Kenyataan saat ini, menunjukkan bahwa praktek ekonomi juga bisnis kapitalis-liberal telah membuat kesenjangan yang begitu besar antar si kaya dan si miskin. Kesempatan berbisnis hanya dimiliki oleh mereka yang punya modal kapital besar dan tega melakukan apapun. Dengan asas kebebasannya (liberal), apapun bisa dibisniskan yang penting untung dan untung ! Salah satunya contohnya adalah praktek riba. Praktek inilah yang membuat banyak investor lebih senang bisnis di sektor non riil dibanding sektor riil. Akibatnya perputaran modal yang seharusnya akan menghasilkan produksi barang/jasa dan akhirnya mendorong terjadinya pembukaan lapangan kerja yang luas menjadi mandul. Belum lagi di praktek pasar saham, pasar uang dan sejenisnya.
Kenyataan data di atas (data dari pemerintah), ternyata tidak sama dengan kenyataan di lapangan. Tidak bisa dipungkiri, masyarakat saat ini merasakan betapa mahalnya harga-harga kebutuhan pokok, minyak dan gas (BBM). Begitu pula dengan biaya kesehatan dan pendidikan yang semakin tidak terjangkau. Kesempatan pengembangan bisnis yang hanya bisa dirasakan oleh sekelompok elit pengusaha, sementara sebagian besar cukup dimasukkan dalam unit usaha yang kecil-kecil. Pemberlakuan pajak yang tidak pandang bulu.
Kedua. Secara empiris, dan dibandingkan secara fair antara sistem ekonomi dan bisnis saat ini dan saat sistem Islam juga pernah berjaya dan diterapkan (dalam Khilafah Islamiyah), maka akan nampak bahwa syariah terbukti telah mampu menyejahterakan umat manusia. Diterapkannya mata uang emas dan perak (dinar dan dirham) terbukti tidak memunculkan masalah moneter (krisis moneter) seperti yang pernah dialami belahan dunia Selatan termasuk Indonesia. Dan masalah moneter muncul manakala sistem ini diganti– setelah PD II, dengan mata uang kertas yang berfungsi sebagai alat tukar sekaligus komoditas (diperjualbelikan).
Ketiga. Secara historis tercatat, diterapkannya syariah di kehidupan masyarakat membuat mereka menjadi makmur. Salah satu contohnya yang mashur adalah saat Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah. Tidak ada satupun penduduknya di jazirah Arab yang mau menerima zakat lantaran semua menolaknya, karena mereka sudah hidup berkecukupan dan makmur. Padahal sebelumnya mereka hidup dalam kekurangan.
Keempat, keimanan. Keyakinan bahwa manusia adalah ciptaan Allah swt dan akan kembali kepada-Nya dengan sebuah pertanggungjawaban (yaumul hisab), secara pasti akan membuat manusia taat atas segala yang dilarang dan diperintahkan oleh-Nya. Keimanan pula yang membuat seseorang yakin akan janji-janji Allah sekaligus dampak buruk yang akan menimpanya akibat meninggalkan perintahnya atau melakukan apa yang dilarang-Nya. Keimanan ini yang membuat bisnis yang dilakukan akan menjadi berkah dunia akhirat.
Kelima. Gunakan pikiran jernih dan terbuka terhadap kebenaran, maka akan nampak bahwa realitas mengharuskan adanya perubahan, dan syariah (jika dikaji dengan benar) insyaAllah merupakan alternatif satu-satunya. Seringkali seseorang menolak kebenaran yang didapatnya hanya karena faktor-faktor yang tidak esensial, meski dalam akal jernihnya hal itu benar. Hanya karena orang yang menyampaikan tidak memiliki latar belakang keilmuan dan pengalaman yang lebih baik dirinya–misalnya, kebenaran yang diketahuinya pun ditolak.
Sebagai penutup, mari kita renungkan firman Allah swt berikut ini :
“Maka demi Tuhan mu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”
[TQS. An-Nisa’: 65]
Bagaimana menurut Anda ?
Bey Laspriana
Praktisi bisnis syariah bidang komunikasi pemasaran syariah.
Pengurus Pusat Komunitas Pengusaha Rindu Syariah.
Pernah dimuat di Tabloid Media Umat di kolom Bisnis Syariah edisi 34, 1-21 Jumadil Awwal 1431 H/
16 April-6 Mei 2010.
Like & Comments